Menulis untuk Berbagi
Catatan ringan cerita hidup saya, berbagi pengalaman dan pikiran tentang kehidupan.
Sabtu, 27 Januari 2018
Ini Alasannya Mengapa Kamu Jangan Nonton Film Dilan 1990
Minggu, 01 Oktober 2017
Menjadi Anak Muda di Indonesia
Lahir, tumbuh, bersekolah, ke perguruan tinggi, bekerja, nikah muda, punya anak, pensiun, dan menghabiskan masa senja bersama keluarga.
Tahapan-tahapan tersebut menjadi pakem bagi sebagian besar masyarakat. Sukses ditakar dari pencapaian tahapan-tahapan tersebut pada batas usia tertentu.
Saya sudah lama sekali seperti tertikam oleh pakem tersebut, hingga saat ini. Meleset sedikit, kita akan tertinggal.
Lima tahun saya kuliah, saya korbankan semuanya hanya demi menjadi seorang sarjana. Tentu saja saya melakukan hal tersebut juga disebabkan oleh pekem-pakem di atas. Padahal semua orang punya ambisi dan peruntungan yang berbeda-beda.
Bulan Agustus lalu saya menjadi seorang sarjana. Selama kuliah saya juga bekerja. Lima tahun lamanya saya menafkahi diri untuk kuliah. Bulan lalu saya resmi mengundurkan diri dari pekerjaan saya dan besok saya resmi menjadi seorang fresh graduate, dengan berbagai pengalaman kerja.
Saat ini, tentu saja saya juga tertekan dengan pakem-pakem tersebut.
Apanpun pilihan yang diambil seseorang selepas kuliah, harusnya hal tersebut berdampak positif bagi perkembangan diri atau orang sekitar. Tak melulu mesti mengikuti pakem di atas.
Sayangnya saya saat ini lupa dengan hal-hal yang ingin benar-benar saya inginkan. Yang saya kejar hanya pakem-pakem tersebut. Melelahkan sekali.
Terkadang, yang dibutuhkan seseorang adalah mengambil ancang-ancang sesaat sebelum melesat ke depan.
Menyebalkan! Ribet sekali budaya di Indonesia ini, mengapa kita tidak diijinkan untuk menjadi diri kita sendiri. Berbahagia dengan semua hal yang kita suka. Kita dipaksa menjadi robot, yang perlu kita lakukan haruslah bergerak seperti mesin. Tidak lentur seperti penari.
Apa hanya saya sendiri yang merasakan hal ini. Bagaimana dengan kamu? Apa kita memiliki kegelisahan yang sama?
Oke saya sudah tahu hal pertama yang ingin saya lakukan besok. Saya ingin belajar bahasa Inggris dan melakukan hal yang saya cintai yaitu membaca buku. Esok saya akan ke Perpusda di tempat kota saya tinggal.
Minggu, 27 Agustus 2017
Gagal Nonton Barasuara
Sebelumnya gue pernah nonton Sheila on 7 di Mall BXChange. Gue kecewa dengan panitia, gue kecewa berat. Acara yang tadinya mulai jam 8 jadi jam 9, ngaret abis. Pegel gue berdiri, malah sendiri. Nah ceritanya malam ini gue pengen nonton Barasuara di lokasi yang sama. Tanpa pikir panjang menurut gue acara Barasuara ini secara alam bawah sadar diri gue sama kaya Sheila On 7. Pasti ngaretlah. Dan apesnya gue. Mainnya engga ngaret. Barasuara main jam 7. Pikir gue yakali engga ngaret. Gue telat 15 menit. Belum ngantri tiket 10 menit jalan ke lokasi panggung 5 menit. Sisa 30 menit.
"Saat panitia ngaret, dia adalah sampah. Saat kita yang ngaret. Kita lebih tidak baik dari sampah."
Jujur aja gue orang yang tepat waktu dan selalu mempersiapkan segala sesuatunya. Kali ini beda. Bebek sama kuda. Karena suatu hal gue tetep ngegas karena pengalaman ngaret tadi. Akhirnya hanya sisa 30 menit. Pikir gue, ngapain 30 menit bayar 30 ribu buat tiket masuk. Gue engga bakalan puas. Akhirnya gue ke Gramedia aja beli buku. Gue beli buku: Dunia Sukab karya Seno Gumira Ajidarma dan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi karya Jokpin. Keduanya gue beli Rp 106.000.
Dari pada nonton band gue engga puas, mending gue beli buku. Seperti janji gue ditulisan sebelumnya, gue kalau selesai baca buku. Gue bakalan buat resumenya. Jadi tunggu tulisan perdana gue dari kedua buku tersebut yaaa. Hehehehe.
Jumat, 18 September 2015
Ini Teruntuk Sahabat-sahabat Gue Tercinta
Sabtu, 08 Agustus 2015
Pendaki-pendaki Kekinian? Apa Kita Termasuk di Dalamnya?
Selasa, 04 Agustus 2015
Ini Kentut Bangetkan?
Jumat, 29 Mei 2015
Pandangan Terbalik Kita Terhadap Filosofi Monozukuri
Jumat, 15 Mei 2015
Sisi Lain dari Wayang yang Wajib Kita Ketahui
9) Pada masa lalu pertunjukan wayang
kulit masih menggunakan lampu penerang pada layar/geber dengan memakai bahan
bakar berupa minyak kelapa yang diberi sumbu benang atau kapas. Lampu yang
berbasis minyak inilah yang dikenal dengan sebutan Blencong. Blencong yang
dipamerkan pada Museum Wayang merupakan hibah dari Kolonel (Purn) Cassel A
Heshisius yang sudah ia miliki sejak tahun 1925. Kemudian pada tanggal 1
Agustus 1976 Blencong tersebut disumbangkan di Museum Wayang. Blencong surupa
juga terdapat dipura Mangkunegaran Surakarta.
Kesimpulan yang bisa gue ambil dari kunjungan gue ini ialah wayang mempunyai peran vital untuk perkembangan bangsa Indonesia, perannya sendiri menjadi kita bangsa yang berkarakter ramah melalui masuknya agama Hindu di Indonesia. Bukan hanya itu, wayang juga sebagai alat pemersatu bangsa untuk melawan penjajah (Wayang Revolusi), propaganda masuknya agama lainnya seperti Wayang Sadat dan Wahyu, pengingat sejarah seperti pada boneka Pitung, Jampang dan Si Manis Jembatan Ancol, dan sebagai alat berekspresi manusia untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan seperti pada Boneka Unyil dan Wayang Kancil. Selain itu, Gue menyarankan buat kalian yang tertarik untuk mengenal sejarah Indonesia lebih dalam datang langsung ke Belanda, sepertinya negara tersebut miliki catatan sejarah yang bisa kita pelajari lebih dalam lagi untuk negara kita ini. Sebenarnya peran wayang masih sangat mendalam bagi bangsa Indonesia, gue nulis kesimpulan ini hanya berupa pengamatan gue di Museum Wayang dan masih sangat jauh dari kata dalam, jika kalian punya opini untuk peran wayang bagi Indonesia silahkan berkomentar. |
Selasa, 05 Mei 2015
Pelajaran dari Sebuah Pendakian
Foto kami sebelum berangkat, dari kiri: Gue, Fiqri, Fajar, Harry |
Pemandangan Gunung Cikuray dari bawah |
Gue sendiri mendaki gunung bukan ikut-ikutan trend saat ini, kegiataan ini udah gue lakuin sejak pertama kali gue berada di kelas dua SMA tepat di tahun 2009, dan sekarang pendakian ketiga gue, gue udah berada di semester enam bangku kuliah.
Foto ketika kami berada di bus menuju terminal Guntur |
Ketika kami berada di bus menuju Stasiun Kampung Rambutan, kami bertemu seorang pengamen bernama Reza, seorang anak kecil berusia empat belas tahun, setiap hari Reza selalu mengamen selepas ia pulang sekolah. Kenapa anak itu gue tulis di blog gue? Ini alasannya, pendapatan Reza per sekali ngamen ia bisa mendapatkan Rp 60.000, bahkan jika sedang beruntung dalam sehari ia bisa mendapatkan uang Rp 1 juta, begitulah yang ia katakan kepada kami.
Tepat pukul 7.30 WIB tanggal 1 Mei kita benar-benar mendaki Gunung Cikuray, hal pertama yang ada dibenak gue, asik nih gunung pendek! Tetapi kenyataannya gunung ini bukan hanya pendek, mendaki gunung ini sangat menyenangkan, sayang karena pekerjaan gue di kantor yang setiap harinya bekerja dengan duduk dan gue di kampus juga duduk, terlebih gue jarang olahraga kecepatan gue ketika mendaki bisa diibaratkan dengan seekor siput.
Diperjalan menuju puncak Gue ditinggal sama Fiqri dan Harry, tapi gue ditemani sama Fajar, disini gue belajar apa itu solidaritas dan bersabar, walau sebenarnya Fajar sudah gereget banget melihat kecepatan gue mendaki.
Foto ketika kami di tenda, gue masih BT sama Harry dan Fiqri! |
Tapi sesampainya Harry kembali, lahan tempat kita sudah didirikan tenda lebih dahulu oleh kelompok lain, suasana hati kami menjadi kacau, mood hancur, apa lagi gue! Disitu gue merasa BT sama tuh anak berdua. Usut punya usut si Fiqri membagikan sebagian lahan kita kepada kelompok lain yang berasal dari Bekasi karena nasib kelompok mereka sama seperti kita, tidak mendapat lahan untuk mendirikan tenda. Balik lagi kepada doa gue sebelum berangkat
Foto kami bersama kelompok asal Bekasi |
Malamnya tenda mengalami masalah, dalam keadaan hujan tali pengikat tenda yang kita ikatkan dipohon putus, asem banget. Paginya jam enam hujan masih tak kunjung henti, gue sempat pesimis untuk mendaki ke puncak namun melihat banyak pendaki ke puncak, semangat kami untuk ke puncak semakin besar, balik lagi ke kelompok asal Bekasi itu, jika tanpa mereka mungkin kita akan sangat lelah karena harus membawa semua keril yang kita bawa hingga ke puncak, karena kami pada akhirnya menitipkan semua keril kepada kelompok mereka.
Di atas langit masih ada langit |
Foto kami ketika berempat ketika berada di puncak! |
Kapan ? |
Foto kami berempat ketika berada di puncak |
Yang bawa bendera merah putih namanya Andhika, gue udah jauh-jauh ke Garut sampai puncak gunung masih aja ketemu anak Patal, Bumi itu sempit |