Minggu, 01 Oktober 2017

Menjadi Anak Muda di Indonesia

Lahir, tumbuh, bersekolah, ke perguruan tinggi, bekerja, nikah muda, punya anak, pensiun, dan menghabiskan masa senja bersama keluarga.

Tahapan-tahapan tersebut menjadi pakem bagi sebagian besar masyarakat. Sukses ditakar dari pencapaian tahapan-tahapan tersebut pada batas usia tertentu. 

Saya sudah  lama sekali seperti tertikam oleh pakem tersebut, hingga saat ini. Meleset sedikit, kita akan tertinggal.

Lima tahun saya kuliah, saya korbankan semuanya hanya demi menjadi seorang sarjana. Tentu saja saya melakukan hal tersebut juga disebabkan oleh pekem-pakem di atas. Padahal semua orang punya ambisi dan peruntungan yang berbeda-beda.

Bulan Agustus lalu saya menjadi seorang sarjana. Selama kuliah saya juga bekerja. Lima tahun lamanya saya menafkahi diri untuk kuliah. Bulan lalu saya resmi mengundurkan diri dari pekerjaan saya  dan besok saya resmi menjadi seorang fresh graduate, dengan berbagai pengalaman kerja.

Saat ini, tentu saja saya juga tertekan dengan pakem-pakem tersebut.

Apanpun pilihan yang diambil seseorang selepas kuliah, harusnya hal tersebut berdampak positif bagi perkembangan diri atau orang sekitar. Tak melulu mesti mengikuti pakem di atas.

Sayangnya saya saat ini lupa dengan hal-hal yang ingin benar-benar saya inginkan. Yang saya kejar hanya pakem-pakem tersebut. Melelahkan sekali.

Terkadang, yang dibutuhkan seseorang adalah mengambil ancang-ancang sesaat sebelum melesat ke depan.

Menyebalkan! Ribet sekali budaya di Indonesia ini, mengapa kita tidak diijinkan untuk menjadi diri kita sendiri. Berbahagia dengan semua hal yang kita suka. Kita dipaksa menjadi robot, yang perlu kita lakukan haruslah bergerak seperti mesin. Tidak lentur seperti penari.

Apa hanya saya sendiri yang merasakan hal ini. Bagaimana dengan kamu? Apa kita memiliki kegelisahan yang sama?

Oke saya sudah tahu hal pertama yang ingin saya lakukan besok. Saya ingin belajar bahasa Inggris dan melakukan hal yang saya cintai yaitu membaca buku. Esok saya akan ke Perpusda di tempat kota saya tinggal.

Minggu, 27 Agustus 2017

Gagal Nonton Barasuara

Sebelumnya gue pernah nonton Sheila on 7 di Mall BXChange. Gue kecewa dengan panitia, gue kecewa berat. Acara yang tadinya mulai jam 8 jadi jam 9, ngaret abis. Pegel gue berdiri, malah sendiri. Nah ceritanya malam ini gue pengen nonton Barasuara di lokasi yang sama. Tanpa pikir panjang menurut gue acara Barasuara ini secara alam bawah sadar diri gue sama kaya Sheila On 7. Pasti ngaretlah. Dan apesnya gue. Mainnya engga ngaret. Barasuara main jam 7. Pikir gue yakali engga ngaret. Gue telat 15 menit. Belum ngantri tiket 10 menit jalan ke lokasi panggung 5 menit. Sisa 30 menit. 

"Saat panitia ngaret, dia adalah sampah. Saat kita yang ngaret. Kita lebih tidak baik dari sampah."

Jujur aja gue orang yang tepat waktu dan selalu mempersiapkan segala sesuatunya. Kali ini beda. Bebek sama kuda. Karena suatu hal gue tetep ngegas karena pengalaman ngaret tadi. Akhirnya hanya sisa 30 menit. Pikir gue, ngapain 30 menit bayar 30 ribu buat tiket masuk. Gue engga bakalan puas. Akhirnya gue ke Gramedia aja beli buku. Gue beli buku: Dunia Sukab karya Seno Gumira Ajidarma dan Selamat Menunaikan Ibadah Puisi karya Jokpin. Keduanya gue beli Rp 106.000.

Dari pada nonton band gue engga puas, mending gue beli buku. Seperti janji gue ditulisan sebelumnya, gue kalau selesai baca buku. Gue bakalan buat resumenya. Jadi tunggu tulisan perdana gue dari kedua buku tersebut yaaa. Hehehehe.