Akhir-akhir ini kita diramaikan oleh
hal-hal yang berbau palsu di masyarakat, mulai dari makanan yang ditambahkan
dengan bahan yang tak pantas untuk
meraup keuntungan yang lebih banyak, hingga ijazah yang dimanipulasi. Sebenarnya
apa yang salah dengan kita?
Kenapa kita tega dan bisa
melakukan ini dari kelas kecil hingga kalangan kelas atas, tetapi yang paling menyedihkan
ialah saat ijazah bisa kita manipulasi.
Gue artikan ini semua sebagai tamak, secara bahasa tamak berarti rakus. Sedang menurut
istilah tamak adalah cinta kepada dunia (harta) terlalu berlebihan tanpa
memperhatikan hukum haram yang mengakibatkan adanya dosa besar.
Tabiat orang tamak ialah senantiasa lapar dan dahaga dengan urusan dunia. Makin banyak yang
diperoleh dan menjadi miliknya, semakin rasa lapar dan dahaga untuk mendapatkan
lebih banyak lagi, padahal :
“Pedagang yang jujur
dan terpercaya akan dibangkitkan bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan
para syuhada” (HR. Tirmidzi no.1209).
Di sini gue ingin membahas logika
terbalik, disaat kita memperaktekan kegiataan tidak terhormat ini, di Jepang
malah terbalik. Jika kita punya filosofi keuntungan nomer pertama di
Jepang punya filosofi Monozukuri.
Secara etimologis, Monozukuri berasal
dari kata "mono" yang berarti produk atau barang dan
"zukuri" yang berarti proses pembuatan, penciptaan atau produksi.
Inilah yang membentuk suatu kultur yang
baik. Monozukuri timbul dari sisi manapun, misalnya
dalam produksi mobil, umumnya buruh di Jepang bekerja dengan tradisi
menjaga atau mempertahankan mutu untuk hasil yang terbaik bagi
masyarakat luas maupun pelayanannya guna membangitkan ekonomi industri itu sendiri. Tentunya hal ini diiringi dengan beberapa aspek seperti kesejateraan,
keikhlasan dan filosofi Monozukuri itu sendiri.
Salah satu bukti dari keberhasilan filosofi ini
ialah Toyota baru-baru ini dinobatkan sebagai merek otomotif yang paling
berharga di dalam studi BrandZ Top 100 Most Valuable Global Brands 2015.
BrandZ Top 100 Most Valuable Global
Brands merupakan satu-satunya studi untuk menggabungkan langkah-langkah dari ekuitas
merek berdasarkan wawancara dengan lebih dari dua juta konsumen global di lebih
dari 30 negara.
Penilaiannya penghargaan itu berupa persepsi
konsumen dari sebuah merek dalam menentukan nilai merek, karena nilai merek merupakan
kombinasi dari kinerja bisnis, pengiriman produk, kejelasan posisi, dan
kepemimpinan.
Lalu maukah kita menjadi bangsa yang
berkualitas dari berbagai bidang? Bukan hanya berkaca pada keuntungan dan
merugikan bangsa kita sendiri?
“Don’t look the book by its cover.”
Kalimat-kalimat awal tentang pemalsuan makanan hingga ijazah, nggak nyambung. Okelah untuk isinya, sempat terpukau. Tapi, kepukauan saya, jadi hancur karena tulisan paling akhir, "Dont judge the book by its cover." Apa hubungannya coba?
BalasHapusNamanya juga kontroversi Gan, biarkan akhirnya menggantung.
BalasHapus