Jumat, 29 Mei 2015

Pandangan Terbalik Kita Terhadap Filosofi Monozukuri





Akhir-akhir ini kita diramaikan oleh hal-hal yang berbau palsu di masyarakat, mulai dari makanan yang ditambahkan dengan bahan yang tak pantas untuk meraup keuntungan yang lebih banyak, hingga ijazah yang dimanipulasi. Sebenarnya apa yang salah dengan kita?


Kenapa kita tega dan bisa melakukan ini dari kelas kecil hingga kalangan kelas atas, tetapi yang paling menyedihkan ialah saat ijazah bisa kita manipulasi.


Gue artikan ini semua sebagai tamak, secara bahasa tamak berarti rakus. Sedang menurut istilah tamak adalah cinta kepada dunia (harta) terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum haram yang mengakibatkan adanya dosa besar. 


Tabiat orang tamak ialah senantiasa lapar dan dahaga dengan urusan dunia. Makin banyak yang diperoleh dan menjadi miliknya, semakin rasa lapar dan dahaga untuk mendapatkan lebih banyak lagi, padahal :


“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan dibangkitkan bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan para syuhada” (HR. Tirmidzi no.1209).


Di sini gue ingin membahas logika terbalik, disaat kita memperaktekan kegiataan tidak terhormat ini, di Jepang malah terbalik. Jika kita punya filosofi keuntungan nomer pertama di Jepang punya filosofi Monozukuri.


Secara etimologis, Monozukuri berasal dari kata "mono" yang berarti produk atau barang dan "zukuri" yang berarti proses pembuatan, penciptaan atau produksi.



Inilah yang membentuk suatu kultur yang baik. Monozukuri timbul dari sisi manapun, misalnya dalam produksi mobil, umumnya buruh di Jepang bekerja dengan tradisi menjaga atau mempertahankan mutu untuk hasil yang terbaik bagi masyarakat luas maupun pelayanannya guna membangitkan ekonomi industri itu sendiri. Tentunya hal ini diiringi dengan beberapa aspek seperti kesejateraan, keikhlasan dan filosofi Monozukuri itu sendiri.


Salah satu bukti dari keberhasilan filosofi ini ialah Toyota baru-baru ini dinobatkan sebagai merek otomotif yang paling berharga di dalam studi BrandZ Top 100 Most Valuable Global Brands 2015.


BrandZ Top 100 Most Valuable Global Brands merupakan satu-satunya studi untuk menggabungkan langkah-langkah dari ekuitas merek berdasarkan wawancara dengan lebih dari dua juta konsumen global di lebih dari 30 negara.


Penilaiannya penghargaan itu berupa persepsi konsumen dari sebuah merek dalam menentukan nilai merek, karena nilai merek merupakan kombinasi dari kinerja bisnis, pengiriman produk, kejelasan posisi, dan kepemimpinan.


Lalu maukah kita menjadi bangsa yang berkualitas dari berbagai bidang? Bukan hanya berkaca pada keuntungan dan merugikan bangsa kita sendiri?


“Don’t look the book by its cover.”



2 komentar:

  1. Kalimat-kalimat awal tentang pemalsuan makanan hingga ijazah, nggak nyambung. Okelah untuk isinya, sempat terpukau. Tapi, kepukauan saya, jadi hancur karena tulisan paling akhir, "Dont judge the book by its cover." Apa hubungannya coba?

    BalasHapus
  2. Namanya juga kontroversi Gan, biarkan akhirnya menggantung.

    BalasHapus