Selasa, 05 Mei 2015

Pelajaran dari Sebuah Pendakian

Foto kami sebelum berangkat, dari kiri: Gue, Fiqri, Fajar, Harry

Ini adalah pendakian ketiga gue dan menjadi pendakian pertama gue tanpa senior. Lebih tepatnya kita semua newbie untuk gunung Cikuray, gunung yang akan kita daki itu. Gue pribadi baru dua kali naik gunung dan keduanya mendaki gunung yang sama, iya gue mendaki Gunung Gede Pangrango dari dua jalur yang berbeda, pertama dari jalur Cibodas dan pendakian kedua dari Gunung Putri. Motivasi gue mendaki gunung sendiri, jujur, sekali lu pernah berada di puncak lu akan ingin berada di puncak-puncak lainnya, alam itu luar biasa dan Tuhan sungguh maha pencipta. Selain itu gunung mengajarkan kita tentang kerendahan hari, kesabaran, rasa syukur, semangat, solidaritas dan dapat mengenal diri kita lebih jauh lagi.

Pemandangan Gunung Cikuray dari bawah

Gue sendiri mendaki gunung bukan ikut-ikutan trend saat ini, kegiataan ini udah gue lakuin sejak pertama kali gue berada di kelas dua SMA tepat di tahun 2009, dan sekarang pendakian ketiga gue, gue udah berada di semester enam bangku kuliah.


Sebelumya, sebelum kita berangkat, gue bingung mau izin sama bos gue untuk pendakian ini, gue sendiri tidak terbiasa untuk berbohong dan akhirnya gue berkata jujur untuk niat gue ini dan dengan penuh rasa syukur bos gue memberikan doa restu.



Akhirnya kita berempat, gue, Harry, Fiqri dan Fajar melangkahkan kaki menuju Garut tanggal 31 April pukul 17.30 WIB. Sebelum berangkat kami berdoa dan gue pribadi berdoa agar perjalanan gue dan khususnya perjalanan kita kali ini diberikan kelancaran dan dapat menjadi berkah untuk orang lain. Gue pegang dalam-dalam di hati gue, berkah bukan seberapa banyak rezeki yang kita terima, tetapi berapa banyak berkah yang kita berikan untuk orang lain dan doa yang gue ucapkan tersebut benar-benar menjadi kenyataan.



Tepat pukul jam enam sore kita sudah berada di bus jurusan Ciledug ke arah Terminal Kampung Rambutan, lalu diteruskan dari Terminal Kampung Rambutan menuju Terminal Guntur, sesampainya di Terminal Guntur pukul 4.30 WIB, lalu perjalanan kami dilanjutkan dengan sebuah mobil pickup menuju kaki Gunung Cikuray.

Foto ketika kami berada di bus menuju terminal Guntur

Ketika kami berada di bus menuju Stasiun Kampung Rambutan, kami bertemu seorang pengamen bernama Reza, seorang anak kecil berusia empat belas tahun, setiap hari Reza selalu mengamen selepas ia pulang sekolah. Kenapa anak itu gue tulis di blog gue? Ini alasannya, pendapatan Reza per sekali ngamen ia bisa mendapatkan Rp 60.000, bahkan jika sedang beruntung dalam sehari ia bisa mendapatkan uang Rp 1 juta, begitulah yang ia katakan kepada kami.


Mendengar pengakuan anak kelas 2 SMP itu, gue lalu ingin beralih pekerjaan, kampret bangetkan tuh anak! Reza bukan hanya kampret, ia juga menarik, ketertarikan kami kepadanya tidak sampai disitu saja, ia juga berkata bahwa ia bercita-cita ingin menjadi seorang pilot, tetapi anehnya ia tidak ingin menjadi orang kaya, sungguh sebuah mimpi yang sangat bertolak belakang.

Reza, sayang dia gak mau difoto
Secara pribadi bocah itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, ibunya bekerja disebuah cafe, adiknya di rumah, kakaknya bekerja sebagai kenek  bus dan ayahnya tengah dipenjara karena kasus narkoba. Sayangnya ia tidak menjelaskan lebih jauh kenapa ia tidak ingin menjadi orang kaya, tapi saat ia ditanya sekolah atau tidak ia menjawab.


"Ngapain anak jalanan gak sekolah" emang kampret nih anak.


Tetapi secara tidak langsung ia hanya ingin memberitahukan bahwa tidak semua anak jalanan itu berandal, coba bandingkan saja dengan anak-anak seusianya di tempat tinggal gue, sibuk menikmati masa kecil: Main motor, warnet, menghabiskan waktu dengan gawai, merokok dan melakukan hal-hal yang tidak penting lainnya.


Sosok anak itu patut menjadi panutan, meski anak jalanan berpenghasilan sangat luar biasa ia tidak memiliki gawai dan tidak merokok, sungguh sangat aneh, banyak uang tidak punya gawai, anak jalanan tapi tidak merokok, bercita-cita menjadi pilot tapi tidak ingin menjadi orang kaya, kehidupan masa kecil yang sungguh keras namun miliki sesuatu yang luar biasa jika dibandingkan anak seusianya di lingkungan rumah gue, sayang pembicaraan kita hanya sesaat karena ia harus melanjutkan kehidupannya dengan berpindah ke bus lainnya, tetapi dalam lubuk hati gue yang terdalam ketika menulis perjalanan gue ini, gue berharap kelak lo jadi orang yang berhasil Za.

Selamat datang di Gunung Cikuray

Tepat pukul 7.30 WIB tanggal 1 Mei kita benar-benar mendaki Gunung Cikuray, hal pertama yang ada dibenak gue, asik nih gunung pendek! Tetapi kenyataannya gunung ini bukan hanya pendek, mendaki gunung ini sangat menyenangkan, sayang karena pekerjaan gue di kantor yang setiap harinya bekerja dengan duduk dan gue di kampus juga duduk, terlebih gue jarang olahraga kecepatan gue ketika mendaki bisa diibaratkan dengan seekor siput.

Bukti bahwa gue ditinggalin!

Diperjalan menuju puncak Gue ditinggal sama Fiqri dan Harry, tapi gue ditemani sama Fajar, disini gue belajar apa itu solidaritas dan bersabar, walau sebenarnya Fajar sudah gereget banget melihat kecepatan gue mendaki.


“Anak-anak mana nih, anjir udah pos empat belum makan siang ini, gue udah lelah banget, kalo gak ingat teman sudah gue makan duluan logistik nih ” ungkap gue kepada Fajar di pos empat.


“Anak-anak ada di pos lima kali, yaudah ayo kita jalan lagi” ungkap Fajar, disini gue tahu apa itu semangat dan solidaritas.


Tapi sayang hingga pos enam anak-anak tak kunjung terlihat, kaki gue udah pada sakit, emang kampret kita kurang koordinasi dalam pendakian kita ini.


Menuju pos tujuh kita ketemu kedua anak kampret itu, dalam benak kita berdua Fiqri dan Harry sudah berada di puncak, sudah menderikan tenda dan makanan sudah siap. Tapi, kenyataan memang kadang tidak seperti harapan, jangankan mendirikan tenda, dapat lahan buat dirikan tenda saja kita tidak dapatkan, kadang disitu saya merasa nyesek.


“Fiqri lu di sini dulu yaa, gue mau ke atas dulu lihat apakah ada lahan buat kita dirikan tenda” cerita Harry kepada gue ketika ia menuju pos 7.

Foto ketika kami di tenda, gue masih BT sama Harry dan Fiqri!


Tapi sesampainya Harry kembali, lahan tempat kita sudah didirikan tenda lebih dahulu oleh kelompok lain, suasana hati kami menjadi kacau, mood hancur, apa lagi gue! Disitu gue merasa BT sama tuh anak berdua. Usut punya usut si Fiqri membagikan sebagian lahan kita kepada kelompok lain yang berasal dari Bekasi karena nasib kelompok mereka sama seperti kita, tidak mendapat lahan untuk mendirikan tenda. Balik lagi kepada doa gue sebelum berangkat


“Gue pegang dalam-dalam di hati gue, berkah bukan seberapa banyak rizki yang kita terima, tetapi berapa sebanyak berkah yang kita berikan untuk orang lain “


Mungkin jika Fiqri tidak memberikan sebagian lahan kita untuk mendirikan tenda pendakian kita ini tidak cukup menyenangkan, kenapa? Pertama ternyata tenda kita telalu besar untuk didirikan dilahan yang sempit, namun dengan baik hati kelompok tersebut meminjamkan kita tenda dan yang paling parahnya lagi gas yang kita beli tidak pas dengan kompor yang kita punya! Anjirr bisa mati kelaparan kita, tapi dengan sangat baik kelompok itu mau menukarkan gas milik mereka kepada kita. Disini kami belajar berbagi, sebaliknya ketika persedian air mereka tidak cukup banyak dan mereka membutuhkannya dengan sukarela kami memberikan sebagian air milik kita kepada kelompok pendaki asal bekasi itu.


Tapi gue ngeri karena kita tidak mendaptkan lahan untuk mendirikan tenda gara-gara Fiqri membagikan lahan untuk kita untuk oran lain, akibatnya kita harus mendirikan tenda dipingir jurang udah gitu konstruksi tanahnya bukan datar tapi menurun, kita benar-benar bertahan hidup diperjalanan ini.

Foto kami bersama kelompok asal Bekasi


Malamnya tenda mengalami masalah, dalam keadaan hujan tali pengikat tenda yang kita ikatkan dipohon putus, asem banget. Paginya jam enam hujan masih tak kunjung henti, gue sempat pesimis untuk mendaki ke puncak namun melihat banyak pendaki ke puncak, semangat kami untuk ke puncak semakin besar, balik lagi ke kelompok asal Bekasi itu, jika tanpa mereka mungkin kita akan sangat lelah karena harus membawa semua keril yang kita bawa hingga ke puncak, karena kami pada akhirnya menitipkan semua keril kepada kelompok mereka.

Di atas langit masih ada langit
Akhirnya kami berada di puncak Gunung Cikuray, saat kami di puncak gunung, kami berada di atas awan, namun di atas kami ada awan lagi. Disitu kami tahu, jadi manusia jangan sombong, karena di atas langit masih ada langit. Dan akhirnya kita pulang selamat sampai di rumah, alhamdulillah.

Foto kami ketika berempat ketika berada di puncak!
Kapan ?
Foto kami berempat ketika berada di puncak

Yang bawa bendera merah putih namanya Andhika, gue udah jauh-jauh ke Garut sampai puncak gunung masih aja ketemu anak Patal, Bumi itu sempit
Terima kasih Gunung Cikuray 2821 MDPL, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar