Apa kabar pembaca? Sudah lama banget gue engga nge-Blog,
tempo hari netbook gue keypad-nya rusak, sekarang netbook gue suka mati sendiri. Itulah alasan kenapa gue jadi jarang nulis lagi di
Blog. Bagaimana kabar kalian semua? Kalo gue lagi mau mencoba garap propasal
skripsi nih.
Oh iya sekarang gue sudah masuk semester tujuh loh, itu
berarti tahun depan gue sudah bertekad untuk lulus kuliah. Tapi kenapa gue merasa sedih yah saat nulis kalimat lulus kuliah. Kuliah gue banyak banget
perjuangannya sob, jika diceritakan sedih deh pokoknya.
Kegelisahan apa yang akan gue bakalan tulis kali ini? Gue mau nulis tentang Indeks Prestasi
Kumulatif (IPK). Untuk pembaca gue yang
masih sekolah gue kasih tahu yah, IPK itu rekapan nilai selama lo kuliah, IPK
gue sendiri saat ini masih di bawah angka 3, jika gue boleh mengelak fokus gue
terbagi dua antara kerja dan kuliah, wajarlah jika IPK gue biasa aja, tapi gue
sebel sama temen-temen gue yang mendewakan IPK, menurut gue IPK memang penting
namun nilai bukanlah segalanya.
Untuk semua mahasiswa yang mendewakan IPK, lo harus
mengetahui hal ini!
IPK tidak menjamin
pekerjaan lo nantinya
Kita selalu beranggapan bahwa dengan IPK kita yang di atas
3,5 itu akan menjamin masa depan kita kelak. Perusahaan yang kita lamar gak
bakalan bertanya seberapa tinggi IPK kita. Melainkan etika, kemampuan dan
pengetahuan kita yang bakalan dilihat perusahaan. Apa yang bisa lo berikan
untuk perusahaan itulah yang akan dinilai, bukan IPK 3,5 lo yang dibanggakan saat
kuliah itu.
IPK tidak menentukan
seberapa pintar seorang mahasiswa
IPK bukanlah segalanya, karena bukan kepintaran yang membuat
kita mampu menjawab soal ujian (yang menjadi faktor penentu IPK). Kita memang diajarkan
untuk mengingat pelajaran bukan untuk memahami pelajaran yang kita dapatkan dan mempertangungjawabkannya
di masyarakat, tetapi seberapa hebat kita mengingat pelajaran itulah yang menjadi penentunya.
Banyak orang-orang
sukses tanpa bermodalkan ijazah
Salah satunya ialah Steve Jobs, ia merupakan orang sukses
tanpa bermodalkan ijazah, apa lagi IPK di atas 3,5 yang kita banggakan itu. Steve
Jobs tidak pernah menyelesaikan kuliahnya. Namun meski mengalami masa-masa
susah kala memutuskan drop out, Jobs menyatakan keluar dari kuliah adalah salah
satu keputusan terbaiknya.
Tahun 1972, Jobs masuk kuliah di Reed College di Portland,
Oregon. Dia memutuskan drop out setelah baru 6 bulan kuliah. Jobs merasa tidak
cocok dan tidak mau menghamburkan uang orang tua untuk ongkos kuliah.
Steve Jobs Gagal setelah memutuskan berhenti kuliah? Tidak, sesudah
DO, perjalanan hidup Jobs berliku-liku. Dia pernah ditendang dari Apple tahun
1984. Padahal, Apple adalah perusahaan yang didirikannya bersama Steve Wozniak.
Namun ia kembali sukses dengan menjadikan studio film Pixar bertaji di industri
film animasi. Kemudian ia kembali pada Apple tahun 1997, lalu menjadikannya
begitu jaya hingga sampai saat ini.
Mau apa lo setelah
lulus nantinya?
Banyak banget temen gue yang kalo gue tanya, “Lo kalo lulus
nanti mau jadi apa?” jawabnya pada “Gatau” itulah kenapa data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) terlihat seperti nyata jika jumlah pengangguran sarjana atau
lulusan universitas pada Februari 2013 lalu mencapai 360 ribu orang, atau 5,04%
dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang. Bayangkan men, apa lagi
sekarang mata uang Dollar menggila, harga kebutuhan semakin tinggi, PHK ada
dimana-mana, lo masih gatau ditanya lulus mau ngapain, tapi kita masih
bangga-banggakan IPK kita yang tinggi itu?
Naif jika bilang IPK
tidak terlalu penting
Tak dapat dipungkiri, IPK tinggi bisa melancarkan seleksi berkas
lo saat melamar kerja nanti, namun pengalaman, pengetahuan dan kemampuan lo
tidak bisa dilupakan begitu saja untuk menjadi daya tarik perusahaan selain
nilai IPK.
Menulis itu
sederhana. Menulislah dari hati, biarkan makna tersampai pada mereka yang
mengerti
Gue percaya hal tersebut, biarkanlah tulisan ini sampai
kepada mereka yang mengerti. Apa lagi teruntuk anak sastra,
perhatikanlah EYD kalian saat nulis apapun, percayalah gue sedih melihatnya,
gunakanlah tanda titik dengan benar, tempatkanlah penggunaan konjungsi (di) dengan tepat, malu sama jurusan, malu sama IPK yang kita yang tinggi itu.